Rabu, 06 Mei 2015

badan eksekutif, legislatif dan yudikatif



BADAN EKSEKUTIF
         Kekuasaan eksekutif biasaanya di pegang oleh badan eksekutif. Di Negara-negara demokratis badan eksekutif biasaanya terdiri dari kepala Negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti  yang luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Dalam naskah ini istilah badan eksekutif dipakai dalam arti sempitnya.

            Dalam sistim presidensiil menteri-menteri merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, sedangkan dalam sistim parlementer para menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri. Dalam sistim parlementer pula perdana menteri beserta menteri-menterinya dinamakan “bagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawag”, sedangkan raja dalam monarkhi konstitusional dinamakan “bagaikan dari badan eksekutif yang tidak dapat didanggu-gugat” (the king can do no wrong).

Jumlah anggota badan eksekutif jauh lebih kecil dari pada jumlah anggota badan legislatif; biasanya berjumlah 20 atau 30 orang, sedangkan ada badan legislatife  yang anggotanya samapai 1000 orang lebih. Badan eksekutif yang kecil dapat bertindak cepat dan memberikan pimpinan yang biasanya terlalu besar untuk mengambil keputusan dengan cepat.

Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran tradisional asas trias politica, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatife serta menyelenggarakan  leluasa sekali ruang geraknya. Zaman modern telah menimbulkan paradox bahwa lebih banyak undang-undang yang di terima oleh badan legislatife dan harus dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eksekutif.

Dalam menjalankan tugasnya badan eksekutif ditunjang oleh tenaga kerja yang trampil dari ahli serta persedian bermacam-macam fasilitas dan alat-alat di masing-masing kementrian. Sebaliknya, keahlian serta fasilitas yang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih terbatas. Maka dari itu , badan legislative berada dalam kedudukan yang kurang menguntungkan di banding dengan badan eksekutif. Dan di bebrapa Negara baru keadaan ini cukup menyolok.


Ø  Wewenang Badan Eksekutif
1.      Administratif, melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain dengan menyelenggarakan administrasi Negara.
2.      Legislatif, merencanakan rancangan undang-undang dan membimbing dalam badan perwakilan rakyat samapi menjadi undang-undang. 
3.      Militer, mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan Negara.
4.      Yudikatif , member grasi, amnesti dan sebagainya.
5.      Diplomatik, menyelenggarakan hubungan diplomatic dengan Negara-negara lain.

Ø  Wewenang Badan Eksekutif
Ada dua macam badan eksekutif yan ada di negara-negara demokrasi yaitu menurut sistem parlementer dan presidensial. Namun perlu diingat bahwa masing-masing terdapat variasi.

1.      Sistem Parlementer dengan Parliamenter Executive
Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif yang bertanggung jawab diharapkan mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya.

Disamping itu, terdapat bentuk sistem parlementer khusus yang member peluang kepada badan eksekutif untuk memainkan peranan yang dominan dan disebut Pemerintahan Kabinet. Hubungan antara badan eksekutif dan legislatif begitu terjalin, sehingga dapat dinamakan sebagai suatu partnership (istilah yang sering dipakai adalah fusion atau union antara badan eksekutif dan badan legislatif). Dalam partnership tersebut, kabinet memainkan peranan yang dominan, sehingga kabinet dinamakan suatu panitia dalam parlemen. India merupakan negara yang menerapkan sistem ini.

Sistem pemerintahan parlementer memiliki beberapa kelebihan. Dengan menerapkan sistem ini, pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai. Selain itu, garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.

Terdapat pula kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer. Kedudukan badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlementer. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar. Kabinet dapat mengendalikan parlementer akan terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlementer dan berasal dari partai mayoritas. Oleh karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, maka anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

2.      Sistem Presidensil dengan Fixed Executive atau Non-Parliamentary Executive

Dalam sistem pemerintahan ini, kelangsungan hidup badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif, dan eksekutif mempunyai masa jabatan tertentu. Kedudukan badan eksekutif lebih kuat dari pada legislatif. Menteri-menteri dalam kabinet presidensil dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden tanpa menghiraukan tuntutan partai politik. Amerika Serikat merupakan negara yang menerapkan system ini.

Sistem pemerintahan presidensil ini, penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan atau majelis. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif karena ia tidak dipilih oleh parlemen. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan menjabat sebagai lembaga perwakilan. Anggotanya pun dipilih oleh rakyat. Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.

Sistem pemerintahan ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya, badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan presiden AS adalah 4 (empat) tahun dan presiden Indonesia selama 5 (lima) tahun. Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

Namun dalam sistem pemerintahan ini, kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak. Sistem pertanggung jawabannya kurang jelas. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dengan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

Menyadari adanya kelemahan dari masing-masing sistem pemerintahan, negara-negara pun berusaha memperbaharui dan berupaya mengkombinasikan dalam sistem pemerintahannya. Hal ini dimaksudkan supaya kelemahan tersebut dapat dicegah atau dikendalikan. Misalnya, di Amerika Serikat yang menggunakan sistem presidensial, maka untuk mencegah kekuasaan presiden yang besar, diadakanlah mekanisme checks and balance, terutama antara eksekutif dan legislatif.
Menurut Rod Hague, pada sistem pemerintahan presidensil terdiri dari 3 (unsur), yaitu :
1.      Presiden yang dipilih rakyat, menjalankan pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.

2.      Masa jabatan yang tetap bagi presiden dan dewan perwakilan, keduanya tidak bisa saling menjatuhkan, atau dengan kata lain, menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang.


3. Tidak ada keanggotaan yang tumpang tindih antara eksekutif dan legislatif.

Ø  Badan Eksekutif di Negara-Negara Komunis
       
Cina dengan nama lengkap Republik Rakyat Cina (people’s Republic of Cina) merupakan negara terbesar di daratan Asia yang masih bertahan dengan sistem komunis. Dalam bidang politik, Cina menerapkan sistem komunis dengan kontrol yang ketat terhadap warganya.
Ada beberapa perbedaan yang menonjol, karena disini Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya dilihat sebagai badan legislatif, tetapi sebagai badan dimana semua kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) semuanya dipusatkan. Perbedaan yang besar ialah pada peranan yang dominan dari Partai Komunis yang menyelami semua aparatur kenegaraan. Negara-negara komunis dalam garis besanya mengikuti pola Uni Soviet.
Di Uni Soviet fungsi-fungsi eksekutif dibagi antara dua badan, yaitu antara pimpinan dewan perwakilan rakyat, yakni Presidium Soviet Tertinggi, dan kabinet. Selain menyelenggarakan wewenang Soviet Tertinggi tertentu dia juga merupakan kepala negara kolektif. Dalam menjalankan fungsinya anggota-anggota persidium mempunyai kedudukan yang sama, hanya dalam upacara formil dan protokoler, ketua presidium bertindak atas nama seluruh Presidium. Dia juga yang biasanya disebut Presiden Uni Soviet.
Wewenang presidium mencakup bidang eksekutif seperti mengeluarkan dekrit-dekrit yang dalam sidang Uni Soviet tertinggi berikutnya disahkan. Disamping itu, presidium bertanggung jawab pada soviet tertinggi akan tetapi dalam praktek presidium membimbing soviet tertinggi. Hal ini dimungkinkan karena anggota presidium merangkap menjadi pimpinan dalam partai komunis.
Anggota kabinet berkisar antara 25 dan 50 orang. Secara formil, para menteri diangkat oleh soviet tertinggi dan bertanggung jawab kepadanya. Dalam praktek kabinet lebih berkuasa karena administrasi negara mencakup dan menguasai hampir semua aspek kehidupan rakyat, terutama dibidang ekonomi.
Kabinet juga mempunyai presidium dimana duduk kira-kira 17 menteri inti yang merupakan alat untuk melaksanakan keputusan yang diambil dalam partai. Hal ini dimungkinkan karena menteri merangkap jabatan anggota pimpinan anggota komunis.

Ø  Badan Eksekutif di Indonesia
Pemegang kekuasaan eksekutif di Indonesia adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden.
Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 dianut sistem pembagian (fungsi ) kekuasaan, dimana masing-masing bidang kekuasaaan tersebut tidak sama sekali terpisah. Bahka dalam beberapa hal terdapat hubungan kerjasama yang sangat erat, misalnya antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bidang pembuatan Undang-undang (Legislatif).
9.1 Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara.
b. Menjalankan segala tindakan atau kegiatan yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau diperlukan agar tujuan yang ditentukan dalm undang-undang itu dapat tercapai.
c. Melakukan segala kebijaksanaan, tindakan yang diperliukan untuk :
- Melindungi bangsa dan tanah air Indonesia.
- Memajukan kesejahteraan umum
- Mencerdaskan kehidupan bangsa
- Ikut serta menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
9.2 Aparatur Pemerintah
Dalam perkembangannya pembangtu-pembantu Presidan tidak hanya Wakil presiden dan para Mentri, tetapi telah ditambah dengan bermacam-macam pejabat yang bukan Mentri.
9.2.1 Aparatur Pemerintah (ekseskutif) di tingkat pusat terdiri dari:
a. Presiden
b. Wakil Presiden
c. Kabinet
d. Sekretariat Negara
e. Kejaksaan Agung
f. Dewan-dewan nasional dan lembaga-lembaga non departemen.
9.2.2 Adapun Aparatur Pemerintah di daerah terdiri dari:
a. Pemerintah Daerah
b. Instansi Vertikal di daerah
9.3 Pemilihan dan Pengangkatan presiden.
Presiden harus orang Indonesia asli, dan memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Warga Negara Indonesia
2.      Telah berusia 40 tahun
3.       Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum
4.      Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
5.      Setia kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila dan UUD 1945
6.      Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan
7.      Berwibawa
8.      Jujur
9.      Cakap
10.  Adil
11.  Dukungan dari rakyat
12.  Tidak pernah terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
13.  Tidak sedang menjalani pidana berdasarka keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun
14.  Tidak terganggu jiwa dan ingatannya.
9.4 Kedudukan dan Wewenang
Wewenang atau kekuasaan eksekutif presiden menurut UUD 1945 adalah:
- Memegang kekuasaan pemerintah (eksekutif) tertinggi dalam negara
- Merupakan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sehingga tidak hanya angkatan perang tapi juga polisi (Polri).
- Dengan persetujuan DPR presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
- Bersama-sama DPR Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
- Presiden menyatakan keadaan bahaya, dalam mana syarat-syarat dan akibat keadaan berbahaya ditetapkan dengan undang-undang.
- Presiden mengangkat duta dan konsul serta menerima duta negara lain.
- Presiden memberi gelar, tanda jasa dan tanda-tanda kehormatan yang lain.




BADAN LEGISLATIF
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, petama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga  perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen yaitu,:
a.       Pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara.
b.      Pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara.
c.      Pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. (Jimly Asshiddiqie,32:2006)
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dilakukan atas persetujuan dari warga negara itu sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka diparlemen  sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Badan legislatif  sendiri mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah “Assembly yang  mengutamakan unsur  berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah public). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan (Miriam Budiardjo,315:2008).

Tidak dari semula badan legislatif mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan umum dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang merupakan bada legislatif yang tertua di dunia, mula-mula hanya bertugas mengumpulkan dana untuk memungkinkan raja  membiayai kegiatan pemerintahan serta peperangannya. Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana (semacam pajak) oleh golongan elite disertai tuntutan agar pihak raja menyerahkan pula berbagai hak dan privilege sebagai imbalan. Dengan demikian secara berangsur –angsur  parlemen berhasil bertindak  sebagai badan yang membatasi kekuasaan raja yang tadinya berkekuasaan  absolut (absolutism). Puncak kemenangan parlemen adalah peristiwa  The Glorious Revolution of 1688.
Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menetukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang. Dalam pada itu badan itu eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan umum itu.
Berikut ini merupakan fungsi dari lembaga legislatif yaitu:
a.       Menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang-undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama dibidang budget atau anggaran.
b.      Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan bada eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan (security oversight). Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak control khusus.
Disamping itu terdapat banyak badan legislatif yang menyelenggarakan fungsi lain seperti mengesahkan (ratify) perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Perlu dicatat bahwa beberapa badan legislatif (antara lain Senat Amerika  Serikat) mempunyai wewenang untuk menuntut (meng-impech) dan mengadili pejabat tinggi, termasuk presiden. Diperancis badan legislatif berwenang menuntut pejabat tinggi termasuk presiden dan menteri-menteri, akan tetapi pengadilan tinggilah yang mengadili.
Ø  Masalah Perwakilan (Representasi)

"MASALAH PERWAKILAN" Perwakilan (representations) adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota dewan perwakilan rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representations). Sekali pun azas perwakilan politik telah menjadi sangat umum,akan tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata mengabaikan kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Misalnya,India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah,sedangkan beberapa wakil dari kalangan kebudayaan,kesusasteraan dan pekerjaan sosial diangkat menjadi anggota majelis tinggi. Di dewan perwakilan rakyat Pakistan dalam masa Demokrasi Dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan wanita dan untuk orang-orang yang berjasa di berbagai bidang,misalnya bekas pejabat tinggi seperti gubernur atau menteri,dan dari kalangan budayawan,ilmu pengetahuan dan profesi-profesi (seperti pengacara,dan sebagainya). Umumnya boleh dikatakan bahwa pengangkatan wakil-wakil dari berbagai golongan fungsional dan minoritas dimaksudkan sebagai sekedar koreksi terhadap azas perwakilan politik. Di samping itu terdapat bahwa di beberapa negara azas perwakilan politik diragukan kewajarannya dan diusahakan agar diganti atau sekurang-kurangnya dilengkapi dengan azas perwakilan fungsional (functional or occupational representation). Di anggap bahwa negara modern dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan ekonomis,yang dalam sistim perwakilan politik sama sekali tidak dihiraukan dan tidak dilibatkan dalam proses politik. Dianjurkan supaya si pemilih mendapat kesempatan untuk memilih dalam golongan ekonomis atau profesi di mana ia bekerja,dan tidak semata-mata menurut golongan politiknya,seperti halnya dalam sistim perwakilan politik. Bermacam-macam cara telah digunakan untuk mengatasi masalah ini. Misalnya di Irlandia,berdasarkan UUD 1937,wakil-wakil golongan fungsional dipilih dan didudukkan dalam senat. Di Republik Perancis ke-IV pada tahun 1946 didirikan suatu majelis khusus di luar dewan perwakilan rakyat,yaitu Majelis Ekonomi,yang berhak memperbincangkan RUU yang menyangkut soal ekonomi. Akan tetapi badan ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan,dan hanya memainkan peranan sebagai penasehat dewan perwakilan rakyat. Di Republik Perancis ke-V UUD 1958 menentukan adanya suatu Majelis Ekonomi dan Sosial,akan tetapi fungsinya berbeda dengan Majelis Ekonomi yang digantinya,ia tidak memberi nasehat kepada dewan perwakilan rakyat,tetapi kepada pemerintah. Anggotanya ditunjuk oleh pemerintah dari bermacam-macam golongan ekonomi,sosial,profesi dan bidang keahlian lain. Di Itali azas functional representation diintrodusir oleh Mussolini pada tahun 1926. Perwakilan didasarkan atas golongan ekonomi,dan untuk keperluan itu dibentuk 22 corporations yang masing-masing mewakili satu industri,seperti misalnya industri textil dan sebagainya. Setiap corporation mencakup baik golongan pekerja maupun golongan management dalam bidang industri itu. Melalui wakil-wakilnya dalam Council of Corporations yang didirikan pada tahun 1930 dan yang pada tahun 1939 menggantikan dewan perwakilan yang ada (badan baru disebut Chamber of Fasces and Corporations dan terdiri dari tokoh-tokoh Partai Fasis dan Council of Corporations),corporations ini memainkan peranan yang penting. Karena itu Italia masa itu dinamakan Negara Korporatif (Corporate State). Dengan jatuhnya Mussolini,eksperimen ini juga terhenti. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dewasa ini perwakilan politik merupakan sistim perwakilan yang dianggap paling wajar. Di samping itu beberapa negara merasa bahwa azas functional or occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingannya di samping sistim perwakilan politik,sebagai cara untuk memasukkan unsur keahlian ke dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Dalam pada itu dilihat bahwa masalah yang sampai sekarang belum dipecahkan secara memuaskan ialah bagaimana menetapkan patokan obyektif mengenai sifat-sifat dari golongan fungsional yang akan diikutsertakan dan bagaimana menentukan kriteria untuk mengukur kekuatan golongan fungsional masing-masing. Di Indonesia azas perwakilan fungsional juga telah dikenal disamping azas perwakilan politik.

Ø  Masalah Satu Majelis dan Sistem Dua Majelis
         Timbulnya pemikiran terhadap parlemen sistem satu majelis didasarkan pada pemikiran bahwa apabila majelis tingginya demokrasi, hal itu semata-mata mencerminkan majelis rendah yang juga demokrasi dan karenanya hanya merupakan duplikasi saja. Teori yang mendukung pandangan ini berpendapat bahwa fungsi kamar kedua, misalnya meninjau atau merevisi undang-undang, dapat dilakukan oleh komisi parlementer, sementara upaya menjaga konsititusi selanjutnya dapat dilakukan melalui konstitusi yang tertulis.

Banyak negara yang kini mempunyai parlemen sistem satu majelis dulunya menganut dua majelis dan belakangan menghapus majelis tingginya. Salah satu alasannya ialah karena majelis tinggi yang dipilih hanya bertumpang tindih dengan majelis rendah dan menghalangi disetujuinya undang-undang. Contohnya adalah kasusu Landsting di Denmark (dihapuskan tahun 1953). Alasan lainnya adalah karena majelis yang diangkat terbukti tidak efektif. Contohnya adalah kasus Dewan Legislatif di Selandia Baru (dihapuskan tahun 1951).

Beberapa hal terkait dengan parlemen sistem satu majelis adalah sebagai berikut:
  1. Para pendukung menyatakan bahwa sistem satu kamar mencatat perlunya pengendalian atau pengeluaran pemerintahan dan dihapuskannya pekerjaan berganda yang dilakukan oleh dua kamar
  2. Para pengeritik menyatakan bahkan sistem satu kamar menunjukkan adanya pemeriksaan dan pengimbangan ganda yang diberikan oleh sistem dua kamar dan dapat menambah tingkat konsensus dalam masalah legislatif.
  3. Kelemahan sistem satu kamar ialah bahwa wilayah-wilayah urban yang memiliki penduduk yang lebih besarakan mempunyai pengaruh yang lebih daripada wilayah-wilayah pedesaan yang penduduknya lebih sedikit. Satu-satunya cara untuk membuat wilayah yang penduduknya lebih sedikit terwakili dalam pemerintahan kesatuan adalah menerapkan sistem dua kamar, seperti misalnya pada periode awal Amerika Serikat.

Beberapa pemerintahan subnasional yang menggunakan sistem legislatifsatu kamar antara lain adalah negara bagian Nebraska di Amerika Serikat, Queensland di Australia, semua provinsi dan/atau wilayah di Kanada, dan Bundeslander Jerman (Bavaria menghapus senatnya pada tahun 1999). Di Britania Raya, Parlemen Skotlandia, Dewan Irlandia Utara yang telah merampingkan juga menganut sistem satu kamar

Sistem parlemen dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunkan dua kamar legislatif atau perlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya, sistem dua kamar ini di praktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (house of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). di Amerika Serikat, sistem ini diterapkan melalui kehadiran senat dan Dewan perwakilan.

Indonesia juga sistem yang aga mendekati dua kamar melalui kehadiran Majelis permusyawaratan Rakyat (DPR), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sepenuhnya diberlakukan karena persidangan MPR tidak berlangsung sesering persidangan DPR.

Adapun bentuk parlemen dengan sistem Dua Majelis, dapat dibedakan menjadi:

· Federalisme
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, India, Brazil, Swiss, dan Jerman, menggunakan sistem dua kamar mereka dengan struktur politik federal mereka. Di Amerika Serikat, Australia, dan Brazil misalnya, masing-masing negara bagian mendapatkan jumlah kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif dengan tidak mempedulikan perbedaan jumlah penduduk antara masing –masing negara bagian. Hal ini direncanakan untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak dibayang-banyangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. Dan kesepakatan untuk menjamin pengaturan ini di Amerika Serikat dikenal sebagai Kompromi Connecticut.

Di Majelis rendah di masing – masing negara tadi, pengaturan ini tidak ditetapkan dan kursi dimenangkan semata-mata berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua kamar adalah sebuah metode yang menggabungakan sistem kesetaraan demokrasi dengan sistem federalisme. Semua setara di majelis rendah, sedangkan semua negara bagian setara di majelis tinggi.

           Dalam sistem india dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenlakan sebagai rajya sabha dan bundesrat) bahkan lebih erat terkait dengan sistem feederal karena aggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian india atau bundesland Jerman. Hal ini terjadi di AS sebelum amandemen ke-17.

· Sistem dua majelis kebangsawanan
Di beberapa negara, sistem dua majelis dilakukan dengan menyejajarkan unsur-unsur demokratis dan kebangsawanan. Contohnya adalah Majelis Tinggi (house of lourd) Britania raya yang terdiri dari sejumlah anggota hereditary peers. Majelis Tinggi ini merupakan sisa – sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah medominasi politik Britania Raya, sementara majelis lainnya, majelis rendah (house Commons), anggotanya sepenuhnya dipilih.

Sejak beberapa tahun lalu sudah muncul berbagai urusan untuk memperbarui Majelis Tinggi dan sebagian telah berhasil. Misalnya, jumlah hereditary pees, berbeda dengan dengan life pees) telah dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang dan kekuasaan MajelisTinggi untuk menghadang undang-undang yang telah dikurangi. Contoh lain dari sistem dua kamar kebangsawanan ini adalah House of pess di Jepang, yang dihapuskan setelah perang dunia II.

ü  Majelis Tinggi
Majelis Tinggi adalah salah satu dari dua "majelis" dalam sistem dua majelis. Pasangan lainnya dari Majelis Tinggi adalah Majelis Rendah. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang spesifik dan terbatas, karena umumnya kekuasaan Majelis Rendah lebih besar. Dalam sistem parlementer, Majelis Tinggi biasanya hanya berperan sebagai pemberi saran atau revisi atas legislasi, namun tidak memulai legislasi itu sendiri.
Beberapa nama yang umum digunakan untuk Majelis Tinggi (upper chamber) adalah:
  • Senate
  • Legislative Council
  • Councils of State
  • Federation Council
  • House of Councillors
  • Dewan Perwakilan Daerah (Indonesia)
  • House of Lords (hanya di Britania Raya)
ü  Majelis Rendah
Majelis Rendah adalah salah satu dari dua "kamar" dalam sistem dua kamar di mana pasangan lainnya adalah Majelis Tinggi. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang besar karena adanya batasan terhadap kekuasaan Majelis Tinggi. Dalam sistem parlementer, hanya Majelis Rendah yang dapat mengangkat kepala pemerintahan atau perdana menteri, dan dapat pula menurunkan mereka melalui mosi tidak percaya.
Beberapa nama yang umum digunakan untuk Majelis Rendah (lower chamber) adalah:
  • Chamber of Deputies
  • Chamber of Representatives
  • Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia)
  • House of Assembly
  • House of Commons
  • House of Representatives
  • Legislative Assembly
  • National Assembly
Ø  Fungsi Badan Legislatif

ü  Fungsi Legilasi
Yang biasa disebut sebagai fungsi utama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga, kewenangan ini hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui  untuk diikat dengan norma hukum dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat maka peraturan yang paling tinggi dibawah Undang-Undang Dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan  bersama dengan eksekutif.
Selain itu, fungsi legislasi juga menyangkut empat kegiatan sebagai berikut:
1.      Prakarsa pembuatan undang-undang (Legislatif initation);
2.      Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3.      Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4.      Pemberian persetuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lain (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

ü  Fungsi Kontrol
Seperti dikemukakan diatas, pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan pengaturan-pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara, perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh rakyat sendiri. Jika pengaturan mengenai ketiga hal itu tidak di control sendiri oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen, maka kekuasaan ditangan pemerintah dapat terjerumus ke dalam kecendrungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang. Oleh karena itu, lembaga perwakilan rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan control dalam tiga hal itu,yaitu (i) kontrol terhadap pemerintahan (control of excutive), (ii) kontrol atas pengeluaran (Control of expenditure), dan (iii) control atas pemungutan pajak (control of taxation)
Bahkan secara teoritis jika dirinci fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
1.      Pengawasan terhadap penentuan kebijakan;
2.      Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan;
3.      Pengawasan terhadap pengganggaran dan belanja negara;
4.      Pengawasan terhadap pelaksanaan  anggaran dan belanja negara;
5.      Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan ;
6.     Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik dalam bentuk persetujuan atau penolakan,ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.

ü  Fungsi Lainnya
Disamping fungsi legislasi dan control, badan legislatif mempunyai beberapa fungsi lainnya. Dengan meningkatnya peranan badan eksekutif dan berkurangnya peranan badan legislatif dibidang perundang-undangan, dewasa ini lebih ditonjolkan peranan edukatifnya. Badan legislatif dianggap sebagai forum kerja sama antara berbagai golongan  serta partai dan pemerintah, dimana beranekaragam pendapat dibicarakan dimuka umum.

Bagi anggota badan legislatif terbuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beranekaragam pandangan yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat. Dengan demikian jarak (gap) antara yang memerintah dan yang diperintah dapat diperkecil. Dipihak lain, pembahasan kebijaksanaan pemerintah dimuka umum  merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menjelaskan tindakan-tindakan serta rencananya.

Suatu fungsi yang tidak kalah pentingnya ilah sebagai sarana rekruitmen politik. Iya merupakan training graund  bagi generasi muda untuk mendapat pengalaman dibidang politik sampai ditingkat nasional.

Ø  Badan Legislatif di Negara-Negara Otoriter
Kekuasaan legislatif federasi Rusia dijalankan oleh Majelis Federal (Parlemen) yang merupakan badan perwakilan dan badan legislative yang tertinggi Parlemen Rusia (Federal Assembly) adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan merupakan badan legiislatif dari Federasi Rusia. Badan ini terbagi atas dua kamar yakni Majelis Tinggi (The Federation Council) dan Majelis Rendah (The State Duma).

Parlemen beranggotakan 628 orang, terdiri dari 450 orang anggota Majelis Rendah (Duma Negara), dan 178 orang Majelis Tinggi (Dewan Federasi) Lembaga Legislatif Rusia dibentuk oleh konstitusi yang disetujui oleh referendum pada bulan Desember 1993.

a.      The Federation Council (Majelis Tinggi)

Majelis ini merupakan badan yang berfungsi untuk mengkonsultasikan masalah-masalah Kenegaraan Rusia. Anggota Majelis Tinggi dipilih oleh “Top Executives” (eksekutif tertinggi) dan legislative di setiap 89 Federal Administrative Unit (kesatuan administrative federal), yaitu Oblasts, Krays, Republics, Autonomous Okrugs, FederasiCity. Dan ada 178 kursi yang tersedia untuk anggota Majelis Tinggi, dan berdasarkan artikel 94 di dalam Majelis
Tinggi:
1.      Terdapat ketua dan wakil ketua.
2.      Merupakan lembaga tetap (permanen) dalam arti tidak bisa dibubarkan oleh Presiden.
3.      Memiliki dua orang utusan atau wakil dari setiap republik dan daerah lain (1 orang perwakilan, 1 orang badan eksekutif negara). Mempunyai panitia (committees) dan menteri-menteri (commissions).
4.      Bisa meng-impeach Presiden dalam beberapa kasus (hal).
5.      Terdiri dari 178 orang utusan (wakil).
6.      Memiliki kekebalan hukum.
7.      Sidang-sidang terbuka untuk hukum.

Sebagai Majelis Tinggi, Dewan Federasi bertanggung jawab dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung serta mengangkat para Hakim Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Tinggi Arbitrasi. Tetapi semua keputusan yang akan diambil harus berdasarkan atas rekomendasi Presiden. Dewan Federasi juga bertanggung jawab dengan keputusan final, jika Majelis Duma merekomendasikan untuk memberhentikan Presiden dan jabatannya Menurut konstitusi, Dewan Federasi juga bertugas mempelajari kitab undang-undang yang diserahkan oleh majelis rendah (Duma) mengenai anggaran belanja, pajak dan kebijakan-kebijakan fiskal lainnya, begitu pula kaitannya dengan hal-hal lain yang berkaitan dengan perang, perdamaian dan ratifikasi kesepakatan (pakta). Dalam hal konsiderasi dan disposisi di hampir semua permasalahan legislatif, Dewan Federasi memiliki kekuasaan yang lebih sedikit dibandingkan Majelis Rendah (Duma).

Semua rancangan undang-undang bahkan yang diusulkan oleh Dewan Federasi sekalipun harus terlebih dahulu dipertimbangkan dan disetujui oleh Majelis Rendah. Apabila Dewan Federasi menolak salah satu undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, maka keduanya dapat membentuk sebuah komisi konsolidasi untuk menyusun versi rancangan undang-undang yang disetui bersama. Setelah itu Majelis Duma memutuskan rancangan undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, maka keduanya dapat membentuk sebuah komisi konsiliasi utnuk menyusun versi rancangan undang-undang yang disetujui bersama. Setelah itu Majelis Duma memutuskan
rancangan-rancangan yang disepakati bersama melalui mekanisme pengambilan suara versirancangan undang-undang yang telah disepakakti bersama tersebut harus mendapatkan dukungan mayoritas dua pertiga dari seluruh anggota Majelis.

Tugas-tugas yang diemban oleh Majelis Tinggi terdapat dalam Konstitusi Rusia pada pasal 102 antara lain adalah:
1.      Menyetujui perubahan batas-batas wilayah negara.
2.      Menyetujui ketetapan Presiden tentang Undang-undang masalah perang.
3.      Menyetujui keputusan Presiden mengenai Negara dalam keadaan bahaya.
4.      Membuat keputusan kemungkinan digunakannya kekuatan bersenjata Federasi Rusia keluar batas negara.
5.      Melakukan pemilihan Presiden Rusia.
6.      Menerima hakim-hakim peradilan, serta anggota badan tinggi dan tertinggi mahkamah agung Federasi Rusia.
7.      Mengangkat dan memberhentikan pejabat jaksa penuntut umum Federasi Rusia.
8.      Mengangkat dan memberhentikan jabatan ketua lembaga keuangan dan sebagaian dari staf akuntannya.
Selain itu majelis tinggi mengeluarkan resolusi yang mengatur masalah – masalah yuridiksi dibawah konstitusi federasi Rusia. Keputusan majelis tinggi diterima oleh mayoritas keseluruhan anggota kecuali bila bertentangan dengan konstitusi Rusia.

b.      The Duma State (Majelis Rendah)

Anggota Majelis Rendah (Duma) merupakan wakil-wakil dari hasil pemegang pemilu 225 orang wakil berasal dari hasil pemilu distrik, dan 225 orang lainnya berasal dari perwakilan – perwakilan Federal.
di dalam Majelis Rendah :
1.      Terdiri dari 450 orang utusan (wakil).
2.      Dipilih melalui pemilu untuk masa jabatan 4 tahun.
3.      Tidak boleh merngkap jabatan, misalnya sebagai utusan/wakil dalam Dewan Federasi dan lembaga Negara lainnya.
4.      Memiliki kekebalan.
5.      Sidang-sidangnya terbuka untuk umum.
6.      Terdapat ketua dan wakil ketua.
7.      Bisa membentuk panitia-panitia (communities) dan komisi-komisi (commissions).
8.      Bisa dibubarkan oleh Presiden dengan beberapa alasan (persyaratan).
9.      Satu bulan setelah terbentuk, harus segera mengadakan persidangan pertama.

Tugas Majelis rendah yang terdapat dalam konstitusi Rusia pada pasal 103 antara lain adalah :
1.      Memberikan izin kepada Presiden untuk mengangkat pimpinan-pimpinan pemerintahan Federasi Rusia.
2.      Memutuskan kepercayaan terhadap pejabat-pejabat pemerintahan Federasi Rusia.
3.      Mengangkat dan memberhentikan pimpinan Bank Sentral.
4.      Mengangkat dan memberhentikan Lembaga Keuangan dan sebagian stafnya.
5.      Mengangkat dan memberhentikan kerja penuh pemangku jabatan ketua Lembaga HAM untuk konstitusi yang berlaku.
6.      Memberikan Amnesi.
7.      Melakukan instruksi menentang Presiden Rusia atas tanggung jawabnya.

Selain itu Majelis Rendah menerimausulan resolusi yang mengatur masalah-masalah di dalam yuridiksinya disesuaikan dengan Konstitusi Federal Rusia. Keputusan Majelis Rendah diterima oleh mayoritas keseluruhan anggota kecuali bila bertentangan dengan Konstitusi Rusia, dan Majelis Rendah dapat dibubarkan oleh Presiden Rusia. Namun Majelis Rendah tidak dapat dibubarkan selama negara dalam keadaan bahaya yang dikeluarkan oleh undang-undang perang disemua wilayah Federasi Rusia sampai 6 bulan terakhir masa jabatan Presiden Federasi Rusia, dan Majelis Rendah tidak dapat dibubarkan jika sedang mengajukan dakwaan terhadap Presiden sampai surat kebijaksanaan dikeluarkan oleh Majelis tinggi.

Majelis Duma memberi persetujuan atas pengangkatan Perdana Menteri, tetapi ia tidak berhak untuk memberikan persetujuan untuk pengangkatan para Menteri Pemerintahan. Ini dikarenakan kekuasaan untuk menyetujui atau menolak Perdana Menteri sangat dibatasi. Menurut konstitusi tahun 1993, Majelis duma harus memutuskan dalam waktu dua minggu untuk memberikan persetujuan atau penolakan seorang kandidat yang telah diajukan oleh Presiden yang namanya masuk dalam daftar nominasi. Bila Majelis Duma menolak tiga kali kandidat Perdana Menteri maka Presiden mempunyai kekuatan untuk menunjuk seorang Perdana Menteri dan membubarkan Parlemen, dan menjadwalkan pemilihan legislatif yang baru.

Kekuasaan Majelis Duma untuk memaksa pengunduran diri pemerintah juga sangat terbatas. Hal ini bisa menunjukan mosi tidak percaya mayoritas suara dan seluruh anggota Majelis Duma terhadap pemerintah, namun demikian Presiden diperkenankan mengabaikan keputusan mereka. Akan tetapi, bila Majelis Duma mengulangi mosi tidak percaya dalam waktu tiga minggu maka presiden dapat membubarkan pemerintah.

Ø  Badan Legislatif di Indonesia

ü  Volksraad:
            Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
            Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
            Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.
            Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.

ü  Komute Nasional Indonesia Pusat (KNIP): 1945 – 1949
            Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.

            Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.


ü  Badan Legislatif Republik Indonesia Serikat: 1949 – 1950
            Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

ü  Badan Legislatif Sementara: 1950 – 1956
            Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1.      Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
2.      Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

ü  Badan Legislatif Hasil Pemilihan Umum 1955: 1956 – 1959
      DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.
      Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.

ü  DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
      Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
      Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).
      DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.

ü  DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)

      Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:
a.       Periode 15 November 1965-26 Februari 1966.
b.      Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.
c.       Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.
d.      Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.

   Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.


ü  DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua panitia:
1.      Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
2.      Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.


ü  DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
1.      Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
2.      Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3.      Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945.

ü  DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997

Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.

ü  . DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).


ü  DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)

Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.

Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.



Ø  Majelis Permusyawaratan Rakyat

1.      MPR(S) masa Demokrasi Terpimpin, 1960 – 1965
Untuk  melaksanakan  Pembentukan  MPRS sebagaimana  diperintahkan
oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut:

1.      MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
2.      Jumlah anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
3.      Yang  dimaksud  dengan  daerah  dan  golongan-golongan  ialah  Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
4.      Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut  agamanya  di  hadapan  Presiden  atau  Ketua  MPRS  yang dikuasakan oleh Presiden.
5.      MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Jumlah  anggota  MPRS  pada  waktu  dibentuk  berdasarkan  Keputusan Presiden Nomor 199 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 anggota DPRGR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Pimpinan MPRS pada masa ini berkedudukan sebagai menteri sehingga berada di bawah Presiden. Pimpinan MPRS dipilih dan diangkat oleh Presiden.

Berdasarkan Keputusan MPRS Nomor 1/MPRS/1965 Pasal 3 ayat (1) tentang Peraturan  Tata  Tertib  MPRS  yang  menyatakan:  “Pimpinan MPRS terdiri  atas seorang  Ketua  dan  4  (empat)  orang  Wakil  Ketua  yang  mewakili  golongangolongan  musyawarah  yang  mencerminkan  persatuan  nasional  progresif revolusioner  berporoskan  Nasakom  dan  merupakan  kesatuan  pimpinan kolektif”. Dengan  demikian,  untuk  jabatan  pimpinan  dipilih  dan  diangkat  oleh Presiden, sedangkan komposisi jumlah ditentukan dalam Peraturan Tata Tertib MPRS.






BADAN YUDIKATIF
         Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan peradilan di mana kekuasaan ini menjaga undang-undang, peraturan-peraturan dan ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan menjatuhkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-undang. Selain itu Yudikatif juga bertugas untuk memberikan keputusan dengan adil sengeketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan.

Ø Badan Yudikatif dalam Negara-Negara Demokratis: Sistem Common Law dan Sistem Civil Law
Terdapat di negara-negara Anglo Saxon dan memulai pertumbuhan di Inggris pada Abad Pertengahan. Sistem ini berdasarkan prinsip bahwa di samping undang-undang yang dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statue law) masih terdapat peraturan-peraturan lain yang merupakan common law, yaitu kumpulan keputusan yang dalam zaman lalu telah dirumuskan oleh hakim.
Di negara-negara dengan sistem common law, tidak ada suatu sistem huukum yang telah dibukukan (dikodifisir). Dalam hal ini common law mirip dengan sistem Hukum Perdata Adat tak tertulis.
Terdapat banyak di Negara Eropa Barat Kontinental. Dalam sistem ini, hukum telah lama tersusun rapi, dengan kata lain penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim adalah tidak mungkin. Hakim hanya mengadili perkara berdasarkan hukum yang termuat dalam kodifikasi saja.
Di negara federal kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat kedudukan yang lebih istimewa daripada negara kesatuan karena biasanya mendapat tugas menyelsaikan persoalan-persoalan konstitusional yang telah timbul antara negara federal dengan Negara bagian, atau antarnegara-negara bagian. Sedangkan persoalan seperti itu tidak ditemukan di ngara kesatuan.

Ø  Badan Yudikatif di Negara-Negara Komunis
Berdasarkan konsep Soviet Legality. Anggapan ini erat hubungannya dengan tahap-tahap perkembangan komunisme di Uni Soviet. Konsep ini menjelaskan bahwa socialist legality secara aktif memajukan masyarakat Soviet kea rah komunis, dan karenanya segala aktivitas serta semua alat kenegaraan, termasuk penyelenggara hukum dan wewenang badan yudikatif merupakan prasaranan untuk melancarkan perkembangan ke arah komunisme. Fungsi badan yudikatif tidak dimaksud untuk melindungi kebebasan individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah (paham borjuis).

Ø  Badan Yudikatif dan Judicial Review
Judicial Review adalah wewenang Mahkamah Agung untuk menguji suatu undang-undang dan menolak melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Ø  Kekuasaan Badan Yudikatif di Indonesia
Terdapat dualisme dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya sistem Hukum Perdata, yaitu :
  1. sistem hukum adat, suatu tata hukum yang bercorak asli Indonesia dan umumnya tak tertulis
  2. sistem hukum Eropa Barat (Belanda) yang bercorak kode-kode Prancis saman Napoleon yang dipengaruhi oleh hukum Romawi.
Dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”
Pada masa Demokrasi Terpimpin telah terjadi penyelewengan yang bertentangan dengan asas kebebasan badan yudikatif, yaitu memberi status menteri kepada Ketua Mahkamah Agung sehingga jabatan Mahkamah Agung yang seharusnya terpisah dari kekuasaat eksekutif menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif.
ü  Kekuasaan Badan Yudikatif di Indonesia Setelah Masa Reformasi
Menurut Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman (BAB IX), kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
a. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk :
1). mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk :
  • menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review)
  • memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara
  • memutuskan pembubaran partai politk
  • memutuskan perselisihan tentang pemilihan umum
2). Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadp Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
b. Mahkamah Agung (MA), kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada dilingkunan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha Negara. MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon hakim diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung.
c. Komisi Yudisial (KY) adalah suatu lembaga yang bebas dan mandiri, berwenang utnuk mengusulkan pengangkatan hakim agung serta menegakkan kehormatan dan perilaku hukum. Diangkat dan diberhenitkan oleh Presiden atas persetujuan DPR
d. Komisi Hukum Nasional (KHN), untuk mewujudkan sistem hukum nasional demi menegakkan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melakukan pengkajian masalah-masalah hukum secara objektif.
e. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan respon pmerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat terhada kinerja dan reputsi kejaksaan maupun kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi.
f. Komisi Nasional Anti Kekeransan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dibentuk sebagai mekanisme nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
g. Komisi Ombudsman Nasinal (KON), bereperan agar pelayanan umum yang dijalankan oleh instansi-instansi pemerintah berjalan dengan baik.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar