BADAN
EKSEKUTIF
Kekuasaan
eksekutif biasaanya di pegang oleh badan eksekutif. Di Negara-negara demokratis
badan eksekutif biasaanya terdiri dari kepala Negara seperti raja atau
presiden, beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti yang
luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Dalam naskah ini
istilah badan eksekutif dipakai dalam arti sempitnya.
Dalam
sistim presidensiil menteri-menteri merupakan pembantu presiden dan langsung
dipimpin olehnya, sedangkan dalam sistim parlementer para menteri dipimpin oleh
seorang perdana menteri. Dalam sistim parlementer pula perdana menteri beserta
menteri-menterinya dinamakan “bagian dari badan eksekutif yang bertanggung
jawag”, sedangkan raja dalam monarkhi konstitusional dinamakan “bagaikan dari
badan eksekutif yang tidak dapat didanggu-gugat” (the king can do no wrong).
Jumlah anggota badan eksekutif jauh
lebih kecil dari pada jumlah anggota badan legislatif; biasanya berjumlah 20
atau 30 orang, sedangkan ada badan legislatife yang anggotanya samapai
1000 orang lebih. Badan eksekutif yang kecil dapat bertindak cepat dan
memberikan pimpinan yang biasanya terlalu besar untuk mengambil keputusan
dengan cepat.
Tugas badan eksekutif, menurut tafsiran
tradisional asas trias politica, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang telah ditetapkan oleh badan legislatife serta menyelenggarakan
leluasa sekali ruang geraknya. Zaman modern telah menimbulkan paradox
bahwa lebih banyak undang-undang yang di terima oleh badan legislatife dan harus
dilaksanakan oleh badan eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan
badan eksekutif.
Dalam menjalankan tugasnya badan
eksekutif ditunjang oleh tenaga kerja yang trampil dari ahli serta persedian
bermacam-macam fasilitas dan alat-alat di masing-masing kementrian. Sebaliknya,
keahlian serta fasilitas yang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih
terbatas. Maka dari itu , badan legislative berada dalam kedudukan yang kurang
menguntungkan di banding dengan badan eksekutif. Dan di bebrapa Negara baru
keadaan ini cukup menyolok.
Ø Wewenang Badan Eksekutif
1. Administratif, melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain
dengan menyelenggarakan administrasi Negara.
2.
Legislatif, merencanakan
rancangan undang-undang dan membimbing dalam badan perwakilan rakyat samapi
menjadi undang-undang.
3.
Militer,
mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan
pertahanan Negara.
4.
Yudikatif ,
member grasi, amnesti dan sebagainya.
5.
Diplomatik, menyelenggarakan
hubungan diplomatic dengan Negara-negara lain.
Ø Wewenang Badan Eksekutif
Ada dua macam
badan eksekutif yan ada di negara-negara demokrasi yaitu menurut sistem
parlementer dan presidensial. Namun perlu diingat bahwa masing-masing terdapat
variasi.
1.
Sistem Parlementer
dengan Parliamenter Executive
Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif yang
bertanggung jawab diharapkan mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan
legislatif yang mendukungnya.
Disamping itu, terdapat bentuk sistem parlementer khusus
yang member peluang kepada badan eksekutif untuk memainkan peranan yang dominan
dan disebut Pemerintahan Kabinet. Hubungan antara badan eksekutif dan
legislatif begitu terjalin, sehingga dapat dinamakan sebagai suatu partnership
(istilah yang sering dipakai adalah fusion atau union antara badan eksekutif
dan badan legislatif). Dalam partnership tersebut, kabinet memainkan peranan
yang dominan, sehingga kabinet dinamakan suatu panitia dalam parlemen. India
merupakan negara yang menerapkan sistem ini.
Sistem pemerintahan parlementer memiliki beberapa
kelebihan. Dengan menerapkan sistem ini, pembuatan kebijakan dapat ditangani
secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan
legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai
atau koalisi partai. Selain itu, garis tanggung jawab dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik jelas. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen
terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan
pemerintahan.
Terdapat pula kekurangan dari sistem pemerintahan
parlementer. Kedudukan badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada
mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan
oleh parlementer. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak
bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu
kabinet dapat bubar. Kabinet dapat mengendalikan parlementer akan terjadi
apabila para anggota kabinet adalah anggota parlementer dan berasal dari partai
mayoritas. Oleh karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, maka
anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen. Parlemen menjadi tempat
kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota
parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau
jabatan eksekutif lainnya.
2.
Sistem Presidensil
dengan Fixed Executive atau
Non-Parliamentary Executive
Dalam sistem pemerintahan ini, kelangsungan hidup badan
eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif, dan eksekutif mempunyai masa
jabatan tertentu. Kedudukan badan eksekutif lebih kuat dari pada legislatif.
Menteri-menteri dalam kabinet presidensil dapat dipilih menurut kebijaksanaan
presiden tanpa menghiraukan tuntutan partai politik. Amerika Serikat merupakan
negara yang menerapkan system ini.
Sistem pemerintahan presidensil ini, penyelenggara negara
berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala
pemerintahan. Presiden tak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh
rakyat atau suatu dewan atau majelis. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh
presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab
kepada parlemen atau legislatif karena ia tidak dipilih oleh parlemen. Presiden
tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. Parlemen
memiliki kekuasaan legislatif dan menjabat sebagai lembaga perwakilan.
Anggotanya pun dipilih oleh rakyat. Presiden tidak berada di bawah pengawasan
langsung parlemen.
Sistem pemerintahan ini memiliki beberapa kelebihan,
diantaranya, badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung
pada parlemen. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu
tertentu. Misalnya, masa jabatan presiden AS adalah 4 (empat) tahun dan
presiden Indonesia selama 5 (lima) tahun. Penyusunan program kerja kabinet
mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya. Legislatif bukan tempat
kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar
termasuk anggota parlemen sendiri.
Namun dalam sistem pemerintahan ini, kekuasaan eksekutif
di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan
mutlak. Sistem pertanggung jawabannya kurang jelas. Pembuatan keputusan atau
kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dengan legislatif
sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
Menyadari adanya kelemahan dari masing-masing sistem
pemerintahan, negara-negara pun berusaha memperbaharui dan berupaya
mengkombinasikan dalam sistem pemerintahannya. Hal ini dimaksudkan supaya
kelemahan tersebut dapat dicegah atau dikendalikan. Misalnya, di Amerika
Serikat yang menggunakan sistem presidensial, maka untuk mencegah kekuasaan
presiden yang besar, diadakanlah mekanisme checks and balance, terutama
antara eksekutif dan legislatif.
Menurut Rod Hague, pada sistem pemerintahan presidensil
terdiri dari 3 (unsur), yaitu :
1.
Presiden yang dipilih rakyat,
menjalankan pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang
terkait.
2.
Masa jabatan yang tetap bagi presiden
dan dewan perwakilan, keduanya tidak bisa saling menjatuhkan, atau dengan kata
lain, menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang.
3. Tidak ada keanggotaan yang tumpang tindih antara
eksekutif dan legislatif.
Ø Badan Eksekutif di Negara-Negara Komunis
Cina dengan nama lengkap Republik Rakyat Cina (people’s Republic of Cina)
merupakan negara terbesar di daratan Asia yang masih bertahan dengan sistem
komunis. Dalam bidang politik, Cina menerapkan sistem komunis dengan kontrol
yang ketat terhadap warganya.
Ada beberapa
perbedaan yang menonjol, karena disini Dewan Perwakilan Rakyat tidak hanya
dilihat sebagai badan legislatif, tetapi sebagai badan dimana semua kekuasaan
(eksekutif, legislatif, yudikatif) semuanya dipusatkan. Perbedaan yang besar
ialah pada peranan yang dominan dari Partai Komunis yang menyelami semua
aparatur kenegaraan. Negara-negara komunis dalam garis besanya mengikuti pola
Uni Soviet.
Di Uni Soviet
fungsi-fungsi eksekutif dibagi antara dua badan, yaitu antara pimpinan dewan
perwakilan rakyat, yakni Presidium Soviet Tertinggi, dan kabinet. Selain
menyelenggarakan wewenang Soviet Tertinggi tertentu dia juga merupakan kepala
negara kolektif. Dalam menjalankan fungsinya anggota-anggota persidium
mempunyai kedudukan yang sama, hanya dalam upacara formil dan protokoler, ketua
presidium bertindak atas nama seluruh Presidium. Dia juga yang biasanya disebut
Presiden Uni Soviet.
Wewenang presidium
mencakup bidang eksekutif seperti mengeluarkan dekrit-dekrit yang dalam sidang
Uni Soviet tertinggi berikutnya disahkan. Disamping itu, presidium bertanggung
jawab pada soviet tertinggi akan tetapi dalam praktek presidium membimbing
soviet tertinggi. Hal ini dimungkinkan karena anggota presidium merangkap
menjadi pimpinan dalam partai komunis.
Anggota kabinet
berkisar antara 25 dan 50 orang. Secara formil, para menteri diangkat oleh
soviet tertinggi dan bertanggung jawab kepadanya. Dalam praktek kabinet lebih
berkuasa karena administrasi negara mencakup dan menguasai hampir semua aspek
kehidupan rakyat, terutama dibidang ekonomi.
Kabinet juga
mempunyai presidium dimana duduk kira-kira 17 menteri inti yang merupakan alat
untuk melaksanakan keputusan yang diambil dalam partai. Hal ini dimungkinkan
karena menteri merangkap jabatan anggota pimpinan anggota komunis.
Ø Badan Eksekutif di Indonesia
Pemegang kekuasaan eksekutif di Indonesia adalah Presiden yang merangkap
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih
dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Kabinet atau menteri diangkat
dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden.
Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih
tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai
kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar
pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem
pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer dan
melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam
sistem presidensial.
Dalam sistem
pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 dianut sistem pembagian (fungsi )
kekuasaan, dimana masing-masing bidang kekuasaaan tersebut tidak sama sekali
terpisah. Bahka dalam beberapa hal terdapat hubungan kerjasama yang sangat
erat, misalnya antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bidang
pembuatan Undang-undang (Legislatif).
9.1 Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai
tugas sebagai berikut:
a. Melaksanakan
Garis-garis Besar Haluan Negara.
b. Menjalankan segala
tindakan atau kegiatan yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau diperlukan
agar tujuan yang ditentukan dalm undang-undang itu dapat tercapai.
c. Melakukan segala
kebijaksanaan, tindakan yang diperliukan untuk :
- Melindungi bangsa dan tanah air Indonesia.
- Memajukan kesejahteraan umum
- Mencerdaskan kehidupan bangsa
- Ikut serta menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
9.2 Aparatur Pemerintah
Dalam
perkembangannya pembangtu-pembantu Presidan tidak hanya Wakil presiden dan para
Mentri, tetapi telah ditambah dengan bermacam-macam pejabat yang bukan Mentri.
9.2.1 Aparatur Pemerintah (ekseskutif)
di tingkat pusat terdiri dari:
a. Presiden
b. Wakil Presiden
c. Kabinet
d. Sekretariat Negara
e. Kejaksaan Agung
f. Dewan-dewan
nasional dan lembaga-lembaga non departemen.
9.2.2 Adapun Aparatur Pemerintah di
daerah terdiri dari:
a. Pemerintah Daerah
b. Instansi Vertikal
di daerah
9.3 Pemilihan dan Pengangkatan presiden.
Presiden harus orang Indonesia asli, dan memenuhi syarat
sebagai berikut:
1.
Warga Negara Indonesia
2.
Telah berusia 40 tahun
3.
Bukan orang yang
sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum
4.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
5.
Setia kepada cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945, Pancasila dan UUD 1945
6.
Bersedia menjalankan haluan negara
menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan
7.
Berwibawa
8.
Jujur
9.
Cakap
10. Adil
11. Dukungan dari
rakyat
12. Tidak pernah
terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang
mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945
13. Tidak sedang
menjalani pidana berdasarka keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi
karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun
14. Tidak terganggu
jiwa dan ingatannya.
9.4 Kedudukan dan Wewenang
Wewenang atau kekuasaan eksekutif presiden menurut UUD
1945 adalah:
- Memegang kekuasaan pemerintah (eksekutif) tertinggi dalam
negara
- Merupakan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, sehingga tidak hanya angkatan perang tapi juga polisi (Polri).
- Dengan persetujuan DPR presiden menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
- Bersama-sama DPR Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
- Presiden menyatakan keadaan bahaya, dalam mana
syarat-syarat dan akibat keadaan berbahaya ditetapkan dengan undang-undang.
- Presiden mengangkat duta dan konsul serta menerima duta
negara lain.
- Presiden memberi gelar, tanda jasa dan tanda-tanda
kehormatan yang lain.
BADAN
LEGISLATIF
Cabang kekuasaan legislatif adalah
cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan
bernegara, petama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu
kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan itu pertama-tama harus
diberikan kepada lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus
diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen yaitu,:
a. Pengaturan yang
dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara.
b. Pengaturan yang
dapat membebani harta kekayaan warga negara.
c. Pengaturan
mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. (Jimly
Asshiddiqie,32:2006)
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut
hanya dilakukan atas persetujuan dari warga negara itu sendiri, yaitu melalui
perantaraan wakil-wakil mereka diparlemen
sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Badan legislatif sendiri mencerminkan salah satu fungsi badan
itu, yaitu legislate, atau membuat
undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah “Assembly yang mengutamakan
unsur berkumpul (untuk membicarakan
masalah-masalah public). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan (Miriam
Budiardjo,315:2008).
Tidak dari semula badan legislatif
mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan umum dan membuat undang-undang.
Parlemen Inggris yang merupakan bada legislatif yang tertua di dunia, mula-mula
hanya bertugas mengumpulkan dana untuk memungkinkan raja membiayai kegiatan pemerintahan serta
peperangannya. Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana (semacam pajak)
oleh golongan elite disertai tuntutan agar pihak raja menyerahkan pula berbagai
hak dan privilege sebagai imbalan.
Dengan demikian secara berangsur –angsur
parlemen berhasil bertindak
sebagai badan yang membatasi kekuasaan raja yang tadinya berkekuasaan absolut (absolutism).
Puncak kemenangan parlemen adalah peristiwa
The Glorious Revolution of 1688.
Dengan berkembangnya gagasan bahwa
kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak
menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menetukan kebijakan umum dan
menuangkannya dalam undang-undang. Dalam pada itu badan itu eksekutif hanya
merupakan penyelenggara dari kebijakan umum itu.
Berikut ini merupakan fungsi dari lembaga legislatif
yaitu:
a.
Menentukan kebijakan (policy) dan
membuat undang-undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak
untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh
pemerintah, dan terutama dibidang budget atau anggaran.
b.
Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan bada
eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan (security oversight). Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan
perwakilan rakyat diberi hak-hak control khusus.
Disamping itu terdapat banyak badan
legislatif yang menyelenggarakan fungsi lain seperti mengesahkan (ratify) perjanjian-perjanjian internasional
yang dibuat oleh badan eksekutif. Perlu dicatat bahwa beberapa badan legislatif
(antara lain Senat Amerika Serikat)
mempunyai wewenang untuk menuntut (meng-impech)
dan mengadili pejabat tinggi, termasuk presiden. Diperancis badan legislatif
berwenang menuntut pejabat tinggi termasuk presiden dan menteri-menteri, akan
tetapi pengadilan tinggilah yang mengadili.
Ø Masalah Perwakilan (Representasi)
"MASALAH PERWAKILAN"
Perwakilan (representations) adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok
mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu
kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota dewan perwakilan rakyat pada
umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan
yang bersifat politik (political representations). Sekali pun azas perwakilan
politik telah menjadi sangat umum,akan tetapi ada beberapa kalangan yang merasa
bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik
semata-mata mengabaikan kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang
ada di dalam masyarakat. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi
persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang
dianggap memerlukan perlindungan khusus. Misalnya,India mengangkat beberapa
orang wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah,sedangkan
beberapa wakil dari kalangan kebudayaan,kesusasteraan dan pekerjaan sosial diangkat
menjadi anggota majelis tinggi. Di dewan perwakilan rakyat Pakistan dalam masa
Demokrasi Dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan wanita dan untuk
orang-orang yang berjasa di berbagai bidang,misalnya bekas pejabat tinggi
seperti gubernur atau menteri,dan dari kalangan budayawan,ilmu pengetahuan dan
profesi-profesi (seperti pengacara,dan sebagainya). Umumnya boleh dikatakan
bahwa pengangkatan wakil-wakil dari berbagai golongan fungsional dan minoritas
dimaksudkan sebagai sekedar koreksi terhadap azas perwakilan politik. Di
samping itu terdapat bahwa di beberapa negara azas perwakilan politik diragukan
kewajarannya dan diusahakan agar diganti atau sekurang-kurangnya dilengkapi
dengan azas perwakilan fungsional (functional or occupational representation).
Di anggap bahwa negara modern dikuasai oleh bermacam-macam kepentingan
ekonomis,yang dalam sistim perwakilan politik sama sekali tidak dihiraukan dan
tidak dilibatkan dalam proses politik. Dianjurkan supaya si pemilih mendapat
kesempatan untuk memilih dalam golongan ekonomis atau profesi di mana ia
bekerja,dan tidak semata-mata menurut golongan politiknya,seperti halnya dalam
sistim perwakilan politik. Bermacam-macam cara telah digunakan untuk mengatasi
masalah ini. Misalnya di Irlandia,berdasarkan UUD 1937,wakil-wakil golongan
fungsional dipilih dan didudukkan dalam senat. Di Republik Perancis ke-IV pada
tahun 1946 didirikan suatu majelis khusus di luar dewan perwakilan rakyat,yaitu
Majelis Ekonomi,yang berhak memperbincangkan RUU yang menyangkut soal ekonomi.
Akan tetapi badan ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan,dan
hanya memainkan peranan sebagai penasehat dewan perwakilan rakyat. Di Republik
Perancis ke-V UUD 1958 menentukan adanya suatu Majelis Ekonomi dan Sosial,akan
tetapi fungsinya berbeda dengan Majelis Ekonomi yang digantinya,ia tidak
memberi nasehat kepada dewan perwakilan rakyat,tetapi kepada pemerintah.
Anggotanya ditunjuk oleh pemerintah dari bermacam-macam golongan
ekonomi,sosial,profesi dan bidang keahlian lain. Di Itali azas functional
representation diintrodusir oleh Mussolini pada tahun 1926. Perwakilan
didasarkan atas golongan ekonomi,dan untuk keperluan itu dibentuk 22
corporations yang masing-masing mewakili satu industri,seperti misalnya
industri textil dan sebagainya. Setiap corporation mencakup baik golongan
pekerja maupun golongan management dalam bidang industri itu. Melalui
wakil-wakilnya dalam Council of Corporations yang didirikan pada tahun 1930 dan
yang pada tahun 1939 menggantikan dewan perwakilan yang ada (badan baru disebut
Chamber of Fasces and Corporations dan terdiri dari tokoh-tokoh Partai Fasis
dan Council of Corporations),corporations ini memainkan peranan yang penting.
Karena itu Italia masa itu dinamakan Negara Korporatif (Corporate State). Dengan
jatuhnya Mussolini,eksperimen ini juga terhenti. Dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa dewasa ini perwakilan politik merupakan sistim
perwakilan yang dianggap paling wajar. Di samping itu beberapa negara merasa
bahwa azas functional or occupational representation perlu diperhatikan dan
sedapat mungkin diakui kepentingannya di samping sistim perwakilan
politik,sebagai cara untuk memasukkan unsur keahlian ke dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Dalam pada itu dilihat
bahwa masalah yang sampai sekarang belum dipecahkan secara memuaskan ialah
bagaimana menetapkan patokan obyektif mengenai sifat-sifat dari golongan
fungsional yang akan diikutsertakan dan bagaimana menentukan kriteria untuk
mengukur kekuatan golongan fungsional masing-masing. Di Indonesia azas
perwakilan fungsional juga telah dikenal disamping azas perwakilan politik.
Ø
Masalah
Satu Majelis dan Sistem Dua Majelis
Timbulnya
pemikiran terhadap parlemen sistem satu majelis didasarkan pada pemikiran bahwa
apabila majelis tingginya demokrasi, hal itu semata-mata mencerminkan majelis
rendah yang juga demokrasi dan karenanya hanya merupakan duplikasi saja. Teori
yang mendukung pandangan ini berpendapat bahwa fungsi kamar kedua, misalnya
meninjau atau merevisi undang-undang, dapat dilakukan oleh komisi parlementer,
sementara upaya menjaga konsititusi selanjutnya dapat dilakukan melalui
konstitusi yang tertulis.
Banyak negara yang kini mempunyai
parlemen sistem satu majelis dulunya menganut dua majelis dan belakangan
menghapus majelis tingginya. Salah satu alasannya ialah karena majelis tinggi
yang dipilih hanya bertumpang tindih dengan majelis rendah dan menghalangi disetujuinya
undang-undang. Contohnya adalah kasusu Landsting di Denmark (dihapuskan tahun
1953). Alasan lainnya adalah karena majelis yang diangkat terbukti tidak
efektif. Contohnya adalah kasus Dewan Legislatif di Selandia Baru (dihapuskan
tahun 1951).
Beberapa hal terkait dengan parlemen sistem satu majelis adalah sebagai berikut:
- Para pendukung menyatakan bahwa sistem satu kamar mencatat perlunya pengendalian atau pengeluaran pemerintahan dan dihapuskannya pekerjaan berganda yang dilakukan oleh dua kamar
- Para pengeritik menyatakan bahkan sistem satu kamar menunjukkan adanya pemeriksaan dan pengimbangan ganda yang diberikan oleh sistem dua kamar dan dapat menambah tingkat konsensus dalam masalah legislatif.
- Kelemahan sistem satu kamar ialah bahwa wilayah-wilayah urban yang memiliki penduduk yang lebih besarakan mempunyai pengaruh yang lebih daripada wilayah-wilayah pedesaan yang penduduknya lebih sedikit. Satu-satunya cara untuk membuat wilayah yang penduduknya lebih sedikit terwakili dalam pemerintahan kesatuan adalah menerapkan sistem dua kamar, seperti misalnya pada periode awal Amerika Serikat.
Beberapa pemerintahan subnasional yang
menggunakan sistem legislatifsatu kamar antara lain adalah negara bagian
Nebraska di Amerika Serikat, Queensland di Australia, semua provinsi dan/atau
wilayah di Kanada, dan Bundeslander Jerman (Bavaria menghapus senatnya pada
tahun 1999). Di Britania Raya, Parlemen Skotlandia, Dewan Irlandia Utara yang
telah merampingkan juga menganut sistem satu kamar
Sistem parlemen dua kamar adalah
praktik pemerintahan yang menggunkan dua kamar legislatif atau perlemen. Jadi,
parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legislatif yang
terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya, sistem dua kamar ini di praktikkan
dengan menggunakan Majelis Tinggi (house of Lords) dan Majelis Rendah (House of
Commons). di Amerika Serikat, sistem ini diterapkan melalui kehadiran senat dan
Dewan perwakilan.
Indonesia juga sistem yang aga
mendekati dua kamar melalui kehadiran Majelis permusyawaratan Rakyat (DPR),
meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sepenuhnya diberlakukan karena
persidangan MPR tidak berlangsung sesering persidangan DPR.
Adapun bentuk parlemen dengan sistem Dua Majelis, dapat dibedakan menjadi:
· Federalisme
Beberapa negara seperti Amerika
Serikat, Australia, India, Brazil, Swiss, dan Jerman, menggunakan sistem dua
kamar mereka dengan struktur politik federal mereka. Di Amerika Serikat,
Australia, dan Brazil misalnya, masing-masing negara bagian mendapatkan jumlah
kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif dengan tidak mempedulikan
perbedaan jumlah penduduk antara masing –masing negara bagian. Hal ini
direncanakan untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak
dibayang-banyangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. Dan
kesepakatan untuk menjamin pengaturan ini di Amerika Serikat dikenal sebagai
Kompromi Connecticut.
Di Majelis rendah di masing – masing
negara tadi, pengaturan ini tidak ditetapkan dan kursi dimenangkan semata-mata
berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua kamar adalah sebuah metode
yang menggabungakan sistem kesetaraan demokrasi dengan sistem federalisme.
Semua setara di majelis rendah, sedangkan semua negara bagian setara di majelis
tinggi.
Dalam sistem india dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenlakan sebagai rajya sabha dan bundesrat) bahkan lebih erat terkait dengan sistem feederal karena aggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian india atau bundesland Jerman. Hal ini terjadi di AS sebelum amandemen ke-17.
Dalam sistem india dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenlakan sebagai rajya sabha dan bundesrat) bahkan lebih erat terkait dengan sistem feederal karena aggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian india atau bundesland Jerman. Hal ini terjadi di AS sebelum amandemen ke-17.
· Sistem dua majelis kebangsawanan
Di beberapa negara, sistem dua majelis
dilakukan dengan menyejajarkan unsur-unsur demokratis dan kebangsawanan.
Contohnya adalah Majelis Tinggi (house of lourd) Britania raya yang terdiri
dari sejumlah anggota hereditary peers. Majelis Tinggi ini merupakan sisa –
sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah medominasi politik Britania Raya,
sementara majelis lainnya, majelis rendah (house Commons), anggotanya
sepenuhnya dipilih.
Sejak beberapa tahun lalu sudah muncul
berbagai urusan untuk memperbarui Majelis Tinggi dan sebagian telah berhasil.
Misalnya, jumlah hereditary pees, berbeda dengan dengan life pees) telah
dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang dan kekuasaan MajelisTinggi
untuk menghadang undang-undang yang telah dikurangi. Contoh lain dari sistem
dua kamar kebangsawanan ini adalah House of pess di Jepang, yang dihapuskan
setelah perang dunia II.
ü
Majelis Tinggi
Majelis Tinggi adalah salah satu
dari dua "majelis" dalam sistem dua majelis. Pasangan lainnya dari
Majelis Tinggi adalah Majelis Rendah. Di banyak
negara, majelis ini seringkali memiliki kekuasaan yang spesifik dan terbatas,
karena umumnya kekuasaan Majelis Rendah lebih besar. Dalam sistem parlementer,
Majelis Tinggi biasanya hanya berperan sebagai pemberi saran atau revisi atas
legislasi, namun tidak memulai legislasi itu sendiri.
Beberapa nama yang umum digunakan untuk
Majelis Tinggi (upper chamber) adalah:
- Senate
- Legislative Council
- Councils of State
- Federation Council
- House of Councillors
- Dewan Perwakilan Daerah (Indonesia)
- House of Lords (hanya di Britania Raya)
ü Majelis Rendah
Majelis Rendah adalah salah satu
dari dua "kamar" dalam sistem dua kamar di mana pasangan
lainnya adalah Majelis
Tinggi. Di banyak negara, majelis ini seringkali memiliki
kekuasaan yang besar karena adanya batasan terhadap kekuasaan Majelis Tinggi.
Dalam sistem
parlementer, hanya Majelis Rendah yang dapat mengangkat kepala
pemerintahan atau perdana menteri, dan dapat pula
menurunkan mereka melalui mosi
tidak percaya.
Beberapa nama yang umum digunakan untuk
Majelis Rendah (lower chamber) adalah:
- Chamber of Deputies
- Chamber of Representatives
- Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia)
- House of Assembly
- House of Commons
- House of Representatives
- Legislative Assembly
- National Assembly
Ø Fungsi Badan Legislatif
ü Fungsi Legilasi
Yang biasa disebut
sebagai fungsi utama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau
pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende
functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang
mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.
Sehingga, kewenangan ini hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri
menyetujui untuk diikat dengan norma
hukum dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada
dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat maka peraturan yang paling tinggi
dibawah Undang-Undang Dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan
persetujuan bersama dengan eksekutif.
Selain itu, fungsi legislasi juga menyangkut empat
kegiatan sebagai berikut:
1.
Prakarsa pembuatan undang-undang (Legislatif
initation);
2.
Pembahasan rancangan undang-undang (law
making process);
3.
Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4.
Pemberian persetuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau
persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lain (binding decision making on international
agreement and treaties or other legal binding documents).
ü
Fungsi Kontrol
Seperti
dikemukakan diatas, pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga
negara, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan
pengaturan-pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara
negara, perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh rakyat sendiri. Jika
pengaturan mengenai ketiga hal itu tidak di control sendiri oleh rakyat melalui
wakil-wakilnya di parlemen, maka kekuasaan ditangan pemerintah dapat terjerumus
ke dalam kecendrungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang. Oleh
karena itu, lembaga perwakilan rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan
control dalam tiga hal itu,yaitu (i) kontrol terhadap pemerintahan (control of excutive), (ii) kontrol atas
pengeluaran (Control of expenditure),
dan (iii) control atas pemungutan pajak (control
of taxation)
Bahkan secara
teoritis jika dirinci fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen
sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
1.
Pengawasan terhadap penentuan kebijakan;
2.
Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan;
3.
Pengawasan terhadap pengganggaran dan belanja negara;
4.
Pengawasan terhadap pelaksanaan
anggaran dan belanja negara;
5.
Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan ;
6. Pengawasan
terhadap pengangkatan pejabat publik dalam bentuk persetujuan atau
penolakan,ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
ü
Fungsi Lainnya
Disamping fungsi legislasi dan control, badan legislatif
mempunyai beberapa fungsi lainnya. Dengan meningkatnya peranan badan eksekutif
dan berkurangnya peranan badan legislatif dibidang perundang-undangan, dewasa
ini lebih ditonjolkan peranan edukatifnya. Badan legislatif dianggap sebagai
forum kerja sama antara berbagai golongan
serta partai dan pemerintah, dimana beranekaragam pendapat dibicarakan
dimuka umum.
Bagi anggota badan legislatif terbuka kesempatan untuk
bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beranekaragam pandangan
yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat. Dengan demikian jarak (gap) antara yang memerintah dan yang
diperintah dapat diperkecil. Dipihak lain, pembahasan kebijaksanaan pemerintah
dimuka umum merupakan kesempatan bagi
pemerintah untuk menjelaskan tindakan-tindakan serta rencananya.
Suatu fungsi yang tidak kalah pentingnya ilah sebagai
sarana rekruitmen politik. Iya merupakan training
graund bagi generasi muda untuk
mendapat pengalaman dibidang politik sampai ditingkat nasional.
Ø Badan Legislatif di Negara-Negara Otoriter
Kekuasaan legislatif federasi Rusia
dijalankan oleh Majelis Federal (Parlemen) yang merupakan badan perwakilan dan
badan legislative yang tertinggi Parlemen Rusia (Federal
Assembly) adalah pemegang kekuasaan tertinggi dan merupakan badan legiislatif
dari Federasi Rusia. Badan ini terbagi atas dua kamar yakni Majelis Tinggi (The
Federation Council) dan Majelis Rendah (The State Duma).
Parlemen beranggotakan 628 orang,
terdiri dari 450 orang anggota Majelis Rendah (Duma Negara), dan 178 orang
Majelis Tinggi (Dewan Federasi) Lembaga Legislatif Rusia dibentuk oleh
konstitusi yang disetujui oleh referendum pada bulan Desember 1993.
a.
The Federation Council (Majelis Tinggi)
Majelis ini merupakan badan yang
berfungsi untuk mengkonsultasikan masalah-masalah Kenegaraan Rusia. Anggota
Majelis Tinggi dipilih oleh “Top Executives” (eksekutif tertinggi) dan
legislative di setiap 89 Federal Administrative Unit (kesatuan administrative
federal), yaitu Oblasts, Krays, Republics, Autonomous Okrugs, FederasiCity. Dan
ada 178 kursi yang tersedia untuk anggota Majelis Tinggi, dan berdasarkan
artikel 94 di dalam Majelis
Tinggi:
1.
Terdapat ketua dan wakil ketua.
2.
Merupakan lembaga tetap (permanen)
dalam arti tidak bisa dibubarkan oleh Presiden.
3.
Memiliki dua orang utusan atau wakil
dari setiap republik dan daerah lain (1 orang perwakilan, 1 orang badan
eksekutif negara). Mempunyai panitia (committees) dan menteri-menteri
(commissions).
4.
Bisa meng-impeach Presiden dalam
beberapa kasus (hal).
5.
Terdiri dari 178 orang utusan (wakil).
6.
Memiliki kekebalan hukum.
7.
Sidang-sidang terbuka untuk hukum.
Sebagai Majelis Tinggi, Dewan Federasi
bertanggung jawab dalam mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung serta
mengangkat para Hakim Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan
Tinggi Arbitrasi. Tetapi semua keputusan yang akan diambil harus berdasarkan
atas rekomendasi Presiden. Dewan Federasi juga bertanggung jawab dengan
keputusan final, jika Majelis Duma merekomendasikan untuk memberhentikan Presiden
dan jabatannya Menurut konstitusi, Dewan Federasi juga bertugas mempelajari
kitab undang-undang yang diserahkan oleh majelis rendah (Duma) mengenai
anggaran belanja, pajak dan kebijakan-kebijakan fiskal lainnya, begitu pula
kaitannya dengan hal-hal lain yang berkaitan dengan perang, perdamaian dan
ratifikasi kesepakatan (pakta). Dalam hal konsiderasi dan disposisi di hampir
semua permasalahan legislatif, Dewan Federasi memiliki kekuasaan yang lebih
sedikit dibandingkan Majelis Rendah (Duma).
Semua rancangan undang-undang bahkan
yang diusulkan oleh Dewan Federasi sekalipun harus terlebih dahulu
dipertimbangkan dan disetujui oleh Majelis Rendah. Apabila Dewan Federasi
menolak salah satu undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, maka
keduanya dapat membentuk sebuah komisi konsolidasi untuk menyusun versi
rancangan undang-undang yang disetui bersama. Setelah itu
Majelis Duma memutuskan rancangan undang-undang yang diajukan oleh Majelis
Rendah, maka keduanya dapat membentuk sebuah komisi konsiliasi utnuk menyusun
versi rancangan undang-undang yang disetujui bersama. Setelah itu Majelis Duma
memutuskan
rancangan-rancangan yang disepakati bersama melalui
mekanisme pengambilan suara versirancangan undang-undang yang telah disepakakti
bersama tersebut harus mendapatkan dukungan mayoritas dua pertiga dari seluruh
anggota Majelis.
Tugas-tugas yang diemban oleh Majelis
Tinggi terdapat dalam Konstitusi Rusia pada pasal 102 antara lain adalah:
1.
Menyetujui perubahan batas-batas
wilayah negara.
2.
Menyetujui ketetapan Presiden tentang
Undang-undang masalah perang.
3.
Menyetujui keputusan Presiden mengenai
Negara dalam keadaan bahaya.
4.
Membuat keputusan kemungkinan
digunakannya kekuatan bersenjata Federasi Rusia keluar batas negara.
5.
Melakukan pemilihan Presiden Rusia.
6.
Menerima hakim-hakim peradilan, serta
anggota badan tinggi dan tertinggi mahkamah agung Federasi Rusia.
7.
Mengangkat dan memberhentikan pejabat
jaksa penuntut umum Federasi Rusia.
Selain itu majelis tinggi mengeluarkan resolusi yang
mengatur masalah – masalah yuridiksi dibawah konstitusi federasi Rusia.
Keputusan majelis tinggi diterima oleh mayoritas keseluruhan anggota kecuali
bila bertentangan dengan konstitusi Rusia.
b.
The Duma State (Majelis Rendah)
Anggota Majelis Rendah (Duma) merupakan
wakil-wakil dari hasil pemegang pemilu 225 orang wakil berasal dari hasil
pemilu distrik, dan 225 orang lainnya berasal dari perwakilan – perwakilan
Federal.
di dalam Majelis Rendah :
1.
Terdiri dari 450 orang utusan (wakil).
2.
Dipilih melalui pemilu untuk masa
jabatan 4 tahun.
3.
Tidak boleh merngkap jabatan, misalnya
sebagai utusan/wakil dalam Dewan Federasi dan lembaga Negara lainnya.
4.
Memiliki kekebalan.
5.
Sidang-sidangnya terbuka untuk umum.
6.
Terdapat ketua dan wakil ketua.
7.
Bisa membentuk panitia-panitia
(communities) dan komisi-komisi (commissions).
8.
Bisa dibubarkan oleh Presiden dengan
beberapa alasan (persyaratan).
9.
Satu bulan setelah terbentuk, harus
segera mengadakan persidangan pertama.
Tugas Majelis rendah yang terdapat dalam konstitusi Rusia
pada pasal 103 antara lain adalah :
1.
Memberikan izin kepada Presiden untuk
mengangkat pimpinan-pimpinan pemerintahan Federasi Rusia.
2.
Memutuskan kepercayaan terhadap
pejabat-pejabat pemerintahan Federasi Rusia.
3.
Mengangkat dan memberhentikan pimpinan
Bank Sentral.
4.
Mengangkat dan memberhentikan Lembaga
Keuangan dan sebagian stafnya.
5.
Mengangkat dan memberhentikan kerja
penuh pemangku jabatan ketua Lembaga HAM untuk konstitusi yang berlaku.
6.
Memberikan Amnesi.
7.
Melakukan instruksi menentang Presiden
Rusia atas tanggung jawabnya.
Selain itu Majelis Rendah menerimausulan resolusi yang
mengatur masalah-masalah di dalam yuridiksinya disesuaikan dengan Konstitusi
Federal Rusia. Keputusan Majelis Rendah diterima oleh mayoritas keseluruhan
anggota kecuali bila bertentangan dengan Konstitusi Rusia, dan Majelis Rendah
dapat dibubarkan oleh Presiden Rusia. Namun Majelis Rendah tidak dapat
dibubarkan selama negara dalam keadaan bahaya yang dikeluarkan oleh
undang-undang perang disemua wilayah Federasi Rusia sampai 6 bulan terakhir
masa jabatan Presiden Federasi Rusia, dan Majelis Rendah tidak dapat dibubarkan
jika sedang mengajukan dakwaan terhadap Presiden sampai surat kebijaksanaan
dikeluarkan oleh Majelis tinggi.
Majelis Duma
memberi persetujuan atas pengangkatan Perdana Menteri, tetapi ia tidak berhak
untuk memberikan persetujuan untuk pengangkatan para Menteri Pemerintahan. Ini
dikarenakan kekuasaan untuk menyetujui atau menolak Perdana Menteri sangat
dibatasi. Menurut konstitusi tahun 1993, Majelis duma harus memutuskan dalam
waktu dua minggu untuk memberikan persetujuan atau penolakan seorang kandidat
yang telah diajukan oleh Presiden yang namanya masuk dalam daftar nominasi.
Bila Majelis Duma menolak tiga kali kandidat Perdana Menteri maka Presiden
mempunyai kekuatan untuk menunjuk seorang Perdana Menteri dan membubarkan
Parlemen, dan menjadwalkan pemilihan legislatif yang baru.
Kekuasaan Majelis Duma untuk memaksa
pengunduran diri pemerintah juga sangat terbatas. Hal ini bisa menunjukan mosi
tidak percaya mayoritas suara dan seluruh anggota Majelis Duma terhadap
pemerintah, namun demikian Presiden diperkenankan mengabaikan keputusan mereka.
Akan tetapi, bila Majelis Duma mengulangi mosi tidak percaya dalam waktu tiga
minggu maka presiden dapat membubarkan pemerintah.
Ø Badan Legislatif di Indonesia
ü Volksraad:
Pada masa penjajahan Belanda,
terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang
dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional
serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I
(1914-1918).
Volksraad dibentuk pada tanggal 16
Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab
baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang
pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918
oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Kaum nasionalis moderat, seperti
Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai
cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.
Volksraad sebagai sebuah lembaga
dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya
merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang
bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya
tidak begitu simpatik.
ü
Komute Nasional
Indonesia Pusat (KNIP): 1945 – 1949
Pada masa ini,
lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan
demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah
Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif
di Indonesia.
Anggota
KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat
103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam
melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan
Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi,
usul dan lain-lain.
ü Badan Legislatif Republik Indonesia
Serikat: 1949 – 1950
Sebagai
konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan
bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang
menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi
dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
ü
Badan Legislatif
Sementara: 1950 – 1956
Pada tanggal
15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara
Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950).
UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan,
terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke
negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di
mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1.
Pembubaran secara resmi negara RIS yang
berbentuk federasi;
2.
Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh
daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
ü
Badan Legislatif
Hasil Pemilihan Umum 1955: 1956 – 1959
DPR hasil
Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih
542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia
yang definitif, menggantikan UUDS.
Tugas dan
wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan,
karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR
serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah
merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet
Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.
ü
DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit
Presiden 1959 (1959-1965)
Pada tahun 1959,
Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia
kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota
sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat
19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres
No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36
milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR,
presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong
Royong (DPR-GR).
DPR-GR
beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No.
156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan
laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan
penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR
menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
ü
DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis
Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR
membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR
tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan
komposisi pimpinan, yaitu:
a. Periode 15
November 1965-26 Februari 1966.
b. Periode 26
Februari 1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei
1966-16 Mei 1966.
d. Periode 17 Mei
1966-19 November 1966.
Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih
berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun
1964 belum dicabut.
ü DPR-GR Masa
Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Dalam rangka
menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua
panitia:
1.
Panitia politik, berfungsi mengikuti
perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
2.
Panitia ekonomi, keuangan dan
pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat
konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
ü DPR-GR Masa Orde
Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang
kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai
kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
1.
Bersama-sama dengan pemerintah
menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
2.
Bersama-sama dengan pemerintah
membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan
Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3.
Melakukan pengawasan atas
tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945.
ü DPR Hasil Pemilu
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah mengalami pengunduran sebanyak
dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu
yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968.
Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang
menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan pada tahun 1971.
Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU
No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian
yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971,
yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis
di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu
menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih
kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus
digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai
menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu
dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu
adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua
partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam
Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar
selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif.
Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses
demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan
mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya
hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan
hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
ü . DPR Hasil Pemilu
1999 (1999-2004)
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih
dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang
kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat
terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat
Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie,
Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini
dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol),
UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU
Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis.
Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem
dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang
berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden
dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan
sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian
kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan
Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang
menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan
DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid
kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati
Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR,
telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu
pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat).
Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada
beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara,
perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya
Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode
1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan
mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan
penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding
dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).
ü
DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)
Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun
1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada
Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan
lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara
langsung oleh rakyat.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi
lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR
merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan
representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam
proses legislasi di negara ini.
Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam
merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan
terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan
legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi
pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.
Ø
Majelis
Permusyawaratan Rakyat
1.
MPR(S) masa Demokrasi Terpimpin, 1960 – 1965
Untuk
melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan
oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur
Pembentukan MPRS sebagai berikut:
1.
MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong
Royong ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
2.
Jumlah anggota MPR ditetapkan oleh
Presiden.
3.
Yang
dimaksud dengan daerah
dan golongan-golongan ialah
Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
4.
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh
Presiden dan mengangkat sumpah menurut
agamanya di hadapan
Presiden atau Ketua
MPRS yang dikuasakan oleh
Presiden.
5.
MPRS mempunyai seorang Ketua dan
beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota
MPRS pada waktu
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 berjumlah 616
orang yang terdiri dari 257 anggota DPRGR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118
Utusan Daerah. Pimpinan MPRS pada masa ini berkedudukan sebagai menteri
sehingga berada di bawah Presiden. Pimpinan MPRS dipilih dan diangkat oleh
Presiden.
Berdasarkan
Keputusan MPRS Nomor 1/MPRS/1965 Pasal 3 ayat (1) tentang Peraturan Tata
Tertib MPRS yang
menyatakan: “Pimpinan MPRS terdiri atas seorang
Ketua dan 4
(empat) orang Wakil
Ketua yang mewakili
golongangolongan musyawarah yang
mencerminkan persatuan nasional
progresif revolusioner
berporoskan Nasakom dan
merupakan kesatuan pimpinan kolektif”. Dengan demikian,
untuk jabatan pimpinan
dipilih dan diangkat
oleh Presiden, sedangkan komposisi jumlah ditentukan dalam Peraturan
Tata Tertib MPRS.
BADAN YUDIKATIF
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan
peradilan di mana kekuasaan ini menjaga undang-undang, peraturan-peraturan dan
ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan menjatuhkan sanksi
terhadap setiap pelanggaran hukum/undang-undang. Selain itu Yudikatif juga
bertugas untuk memberikan keputusan dengan adil sengeketa-sengketa sipil yang diajukan
ke pengadilan untuk diputuskan.
Ø Badan Yudikatif dalam Negara-Negara
Demokratis: Sistem Common Law dan
Sistem Civil Law
Terdapat di
negara-negara Anglo Saxon dan memulai pertumbuhan di Inggris pada Abad
Pertengahan. Sistem ini berdasarkan prinsip bahwa di samping undang-undang yang
dibuat oleh parlemen (yang dinamakan statue law) masih terdapat
peraturan-peraturan lain yang merupakan common law, yaitu kumpulan
keputusan yang dalam zaman lalu telah dirumuskan oleh hakim.
Di negara-negara
dengan sistem common law, tidak ada suatu sistem huukum yang telah
dibukukan (dikodifisir). Dalam hal ini common law mirip dengan sistem
Hukum Perdata Adat tak tertulis.
Terdapat banyak di
Negara Eropa Barat Kontinental. Dalam sistem ini, hukum telah lama tersusun
rapi, dengan kata lain penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim adalah tidak
mungkin. Hakim hanya mengadili perkara berdasarkan hukum yang termuat dalam
kodifikasi saja.
Di negara federal
kedudukan badan yudikatif, terutama pengadilan federal, mendapat kedudukan yang
lebih istimewa daripada negara kesatuan karena biasanya mendapat tugas
menyelsaikan persoalan-persoalan konstitusional yang telah timbul antara negara
federal dengan Negara bagian, atau antarnegara-negara bagian. Sedangkan
persoalan seperti itu tidak ditemukan di ngara kesatuan.
Ø Badan Yudikatif di Negara-Negara
Komunis
Berdasarkan konsep
Soviet Legality. Anggapan ini erat hubungannya dengan tahap-tahap
perkembangan komunisme di Uni Soviet. Konsep ini menjelaskan bahwa socialist
legality secara aktif memajukan masyarakat Soviet kea rah komunis, dan
karenanya segala aktivitas serta semua alat kenegaraan, termasuk penyelenggara
hukum dan wewenang badan yudikatif merupakan prasaranan untuk melancarkan
perkembangan ke arah komunisme. Fungsi badan yudikatif tidak dimaksud untuk
melindungi kebebasan individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah (paham
borjuis).
Ø Badan Yudikatif dan Judicial Review
Judicial Review adalah wewenang
Mahkamah Agung untuk menguji suatu undang-undang dan menolak melaksanakan
undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar.
Ø
Kekuasaan Badan
Yudikatif di Indonesia
Terdapat dualisme
dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya sistem Hukum Perdata,
yaitu :
- sistem hukum adat, suatu tata hukum yang bercorak asli Indonesia dan umumnya tak tertulis
- sistem hukum Eropa Barat (Belanda) yang bercorak kode-kode Prancis saman Napoleon yang dipengaruhi oleh hukum Romawi.
Dalam pasal 24 dan
25 UUD 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Kekuasaan Kehakiman
ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang
tentang kedudukan para hakim.”
Pada masa
Demokrasi Terpimpin telah terjadi penyelewengan yang bertentangan dengan asas
kebebasan badan yudikatif, yaitu memberi status menteri kepada Ketua Mahkamah
Agung sehingga jabatan Mahkamah Agung yang seharusnya terpisah dari kekuasaat
eksekutif menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif.
ü Kekuasaan Badan Yudikatif di Indonesia
Setelah Masa Reformasi
Menurut Amandemen ketiga UUD 1945 yang
disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman (BAB
IX), kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
a. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk :
1). mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang keputusannya bersifat final untuk :
- menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review)
- memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara
- memutuskan pembubaran partai politk
- memutuskan perselisihan tentang pemilihan umum
2). Memberikan putusan pemakzulan (impeachment)
presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan
pelanggaran berupa pengkhianatan terhadp Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat, atau perbuatan tercela.
b. Mahkamah Agung (MA), kewenangannya
adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada dilingkunan peradilan
umum, militer, agama, dan tata usaha Negara. MA berwenang mengadili pada
tingkat kasasi. Calon hakim diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung.
c. Komisi Yudisial (KY) adalah suatu
lembaga yang bebas dan mandiri, berwenang utnuk mengusulkan pengangkatan hakim
agung serta menegakkan kehormatan dan perilaku hukum. Diangkat dan
diberhenitkan oleh Presiden atas persetujuan DPR
d. Komisi Hukum Nasional (KHN), untuk mewujudkan
sistem hukum nasional demi menegakkan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia
berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melakukan pengkajian masalah-masalah
hukum secara objektif.
e. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
merupakan respon pmerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat terhada kinerja
dan reputsi kejaksaan maupun kepolisian dalam hal pemberantasan korupsi.
f. Komisi Nasional Anti Kekeransan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dibentuk sebagai mekanisme nasional
untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
g. Komisi Ombudsman Nasinal (KON), bereperan agar
pelayanan umum yang dijalankan oleh instansi-instansi pemerintah berjalan
dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar